Senin, 25 April 2016

Berdialektika Kembali; Me-nyoal Pengetahuan

Berdialektika Kembali; Me-nyoal Pengetahuan


Mahasiswa yang dikenal sebagai masyarakat kalangan akademis tentu tidak dapat terpisah dari kajian-kajian keilmuan dalam kesehariannya. Diskusi secara formal maupun non-formal sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa yang menjadikan diskusi sebagai landasan untuk mengasah khazanah intelektual, apalagi mereka yang notabene nya adalah kaum pergerakan. Berdiskusi sudah menjadi adat warisan turun temurun dari sebelum era Mahbub Junaidi sampai era Aminuddin Ma’ruf, disini bukan berarti diskusi hanya milik kaum pergerakan, tidak! diskusi adalah hal umum yang dilakukan oleh semua kalangan, baik kalangan birokrat, akademis, masyarakat biasa bahkan anak-anak sekalipun.
Disisi lain, banyak juga mahasiswa yang memanfaatkan moment diskusi ini bukan hanya sebagai tempat memperkaya ilmu pengetahuan tetapi juga untuk berinteraksi dengan sahabat-sahabati, menjalin tali silaturahmi, “saling menjaga satu sama lain” (maksudnya?), tukeran pin BB, WA (modus para jomblo) dan lainnya. Esensi dari diskusi tentu dapat berjalan sesuai alur ketika seluruh peserta memiliki satu tujuan yang sama, beda halnya kalau melenceng dari tujuan utama diskusi,,, mmm mungkin dari sini saya tidak perlu menjabarkan lebih luas lagi tentang hakikat diskusi, karena tema tulisan ini bukan tentang diskusi akan tetapi hasil dari diskusi.
Diskusi kami berawal dari perbincangan sederhana mengenai filsafat. Pertanyaan awal adalah apa sih pengetahuan itu? Pertanyaan singkat tersebut mungkin akan langsung sahabat-sahabati tanggapi atau jawab dengan beragam definisi. Pada umumya, terdapat beberapa hal yang menjadi faktor timbulnya pengetahuan didalam diri manusia, pertama adalah rasa heran. Sifat ini akan menjadi faktor utama seseorang untuk menetahui sesuatu lebih dalam. Misalnya ketika orang primitif didaerah terpencil pedalaman Indonesia, misalnya papua, melihat turis membawa kamera, backpacker, topi, sepatu, kaca mata dan mereka secara tidak sengaja melewati perkampungan primitif tersebut, secara tidak langsung ketika para turis berpapasan langsung dengan orang-orang primitif tentu mereka akan saling keheranan. Para turis akan berpandangan“Mengapa para manusia ini tidak berbusana?” (walaupun para turis juga sering tidak “berbusana”), kemudian para badui akan berfikir “mengapa mereka mengenakan sesuatu yang aneh?”. Atas dasar keheranan itulah mereka akan saling mencari tahu lebih dalam terkait peristiwa yang baru mereka saksikan dan akan menjadi pengetahuan baru bagi mereka.
Kedua adalah rasa keragu-raguan (skeptis). Rasa ragu dapat diklasifikasikan diatas sifat keheranan karena keragu-raguan berawal dari sesuatu yang telah diketahui dan dicari kebenarannya. Misalnya, seorang ragu bahwasannya kipas itu berputar sesuai dengan arah jarum jam, pada dasarnya ia tahu bahwa kipas itu berputar tetapi ia tidak memperhatikan apakah kipas itu berputar kekiri ataukah kekanan? karena ia masih ragu dan belum  sepenuhnya yakin maka ia buktikan dan ternyata benar, maka hal tersebut menjadi pengetahuan baginya.
Faktor-faktor tersebut adalah pemicu timbulnya pengetahuan bagi seseorang. Secara tidak langsung kita baru menyadari bahwasannya kejadian-kejadian tersebut sangat dekat dengan aktifitas kita sehari-hari. Selain itu, pengetahuan masih terbagi dalam tiga jenis yaitu, pengetahuan umum (common sense), pengetahuan empiris (empirical sense) dan pengetahuan ilmiah (science = dibaca sains).  Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki tingkatan yang berbeda-beda, ketika berbicara tentang common sense maka contohnya adalah pengetahuan yang lumrah dan tidak perlu dibuktikan kebenarannya seperti ketika lapar maka harus makan, makan nasi dapat membuat kenyang, ketika ngantuk maka harus tidur, ketika jomblo maka harus mencari pasangan dan sebagainya, ini adalah pengetahuan yang umum atau disebut juga pengetahuan yang biasa. Kemudian tentang empirical sense, pengetahuan ini berdasarkan pengalaman indrawi atau pengalaman seseorang yang pernah dialaminya secara langsung sehingga menstimulus untuk timbulnya pengetahuan, misalnya ketika seseorang tinggal di Aceh yang pernah mengalami kejadian tsunami secara langsung disandingkan dengan orang Arab yang tidak pernah mengalami kejadian serupa, tentu pengetahuan orang Aceh sangat lebih tahu tentang tsunami dibanding orang Arab tersebut, ini yang dikatakan sebagai pengetahuan empiris.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah ilmu pengetahuan (science). Jenis pengetahuan ini berada pada klasifikasi diatas common sense dan empirical sense karena keakuratan pengetahuan ini bisa dibuktikan secara fakta dan logika. Ilmu dikatakan ilmiah karena mencakup dua hal tersebut, yaitu fakta dan masuk akal. Lalu apakah masuk akal jika seseorang mengatakan 1+1=8? Jika bisa dibuktikan secara ilmiah dan logis, maka sah-sah saja jika hitungan tersebut benar, namun kebanyakan (mungkin semua) orang  telah menyepakati bahwa 1+1=2 bukan delapan.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apa bedanya pengetahuan dan ilmu pengetahuan? Hemat penulis bahwasanya pengetahuan adalah sesuatu yang didasari atas dasar tahu, tidak memiliki sebab, tidak memiliki objek yang mendalam dan tidak bermetode, sedangkan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mementingkan sebab, menyelidiki objek secara mendalam, dan memiliki metode yang jelas sehingga keakuratan sebuah ilmu pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan. Singkatnya pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah sama-sama menggali kebenaran, bedanya ada pada cara menggali kebenaran itu sendiri, apakah bermetode atau tidak.

Menyoal pengetahuan tidak akan berhenti sampai pembahasan istilah dan pembagian jenis. Ilmu pengetahuan sendiri memiliki ruang lingkup yang sangat luas, jika dilihat dari objek ilmu pengetahuan itu sendiri, ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua aspek yaitu alam dan manusia, sedangkan dalam pembagian ilmu pengetahuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya ilmu itu sendiri. Secara garis besar, ilmu pengetahuan merupakan cabang-cabang dari filsafat. Mengapa? Karena filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan.
Prof. Drs. Harsojo mengemukakan bahwasannya ilmu pengetahuan memiliki cirri-ciri umum, seperti: ilmu itu bersifat rasional, ilmu itu bersifat empiris, ilmu itu bersifat umum dan ilmu itu bersifat akumulatif (kepentingan bersama). Berdasarkan cirri-ciri tersebut dapat dikemukakan bahwasannya pemahaman-pemahaman yang digunakan oleh para filosof seperti pemahaman bersifat rasional, empiris, kesepakatan bersama, bersumber pada kebenaran merupakan bentuk dari kajian filsafat yang berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini.
Dapat disimpulkan bahwasannya pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah proses berfikir yang disengaja oleh seseorang dalam menjawab kegelisahan yang bersumber dari rasa heran dan rasa skeptis baik menggunakan metode ataupun bersumber dari nalar. Islam pun menganjurkan setiap manusia untuk mengkaji lebih dalam tentang kebesaran Allah swt di seluruh alam semesta ini. Seseorang yang belajar (berilmu) tentu derajatnya lebih tinggi dari orang yang hanya sekedar beribadah. Ketika seseorang ingin mencari kehidupan didunia maka ia harus berilmu, dan ketika seseorang mencari kehidupan di akhirat maka ia pun harus berilmu.
Wallahualam.

0 komentar:

Posting Komentar

Laman

Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Cari Blog Ini