Berdialektika Kembali; Me-nyoal Pengetahuan
Mahasiswa yang dikenal sebagai masyarakat kalangan akademis tentu tidak
dapat terpisah dari kajian-kajian keilmuan dalam kesehariannya. Diskusi secara
formal maupun non-formal sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa yang menjadikan diskusi
sebagai landasan untuk mengasah khazanah intelektual, apalagi mereka yang
notabene nya adalah kaum pergerakan. Berdiskusi sudah menjadi adat warisan
turun temurun dari sebelum era Mahbub Junaidi sampai era Aminuddin Ma’ruf,
disini bukan berarti diskusi hanya milik kaum pergerakan, tidak! diskusi adalah
hal umum yang dilakukan oleh semua kalangan, baik kalangan birokrat, akademis,
masyarakat biasa bahkan anak-anak sekalipun.
Disisi lain, banyak juga mahasiswa yang memanfaatkan moment diskusi ini bukan
hanya sebagai tempat memperkaya ilmu pengetahuan tetapi juga untuk berinteraksi
dengan sahabat-sahabati, menjalin tali silaturahmi, “saling menjaga satu sama
lain” (maksudnya?), tukeran pin BB, WA (modus para jomblo) dan lainnya. Esensi
dari diskusi tentu dapat berjalan sesuai alur ketika seluruh peserta memiliki
satu tujuan yang sama, beda halnya kalau melenceng dari tujuan utama diskusi,,,
mmm mungkin dari sini saya tidak perlu menjabarkan lebih luas lagi tentang hakikat
diskusi, karena tema tulisan ini bukan tentang diskusi akan tetapi hasil dari
diskusi.
Diskusi kami berawal dari perbincangan sederhana mengenai filsafat.
Pertanyaan awal adalah apa sih pengetahuan itu? Pertanyaan singkat tersebut
mungkin akan langsung sahabat-sahabati tanggapi atau jawab dengan beragam
definisi. Pada umumya, terdapat beberapa hal yang menjadi faktor timbulnya
pengetahuan didalam diri manusia, pertama adalah rasa heran. Sifat ini akan
menjadi faktor utama seseorang untuk menetahui sesuatu lebih dalam. Misalnya
ketika orang primitif didaerah terpencil pedalaman Indonesia, misalnya papua,
melihat turis membawa kamera, backpacker, topi, sepatu, kaca mata dan mereka
secara tidak sengaja melewati perkampungan primitif tersebut, secara tidak langsung
ketika para turis berpapasan langsung dengan orang-orang primitif tentu mereka
akan saling keheranan. Para turis akan berpandangan“Mengapa para manusia ini
tidak berbusana?” (walaupun para turis juga sering tidak “berbusana”), kemudian
para badui akan berfikir “mengapa mereka mengenakan sesuatu yang aneh?”. Atas
dasar keheranan itulah mereka akan saling mencari tahu lebih dalam terkait peristiwa
yang baru mereka saksikan dan akan menjadi pengetahuan baru bagi mereka.
Kedua adalah rasa keragu-raguan (skeptis). Rasa ragu dapat
diklasifikasikan diatas sifat keheranan karena keragu-raguan berawal dari
sesuatu yang telah diketahui dan dicari kebenarannya. Misalnya, seorang ragu
bahwasannya kipas itu berputar sesuai dengan arah jarum jam, pada dasarnya ia tahu
bahwa kipas itu berputar tetapi ia tidak memperhatikan apakah kipas itu
berputar kekiri ataukah kekanan? karena ia masih ragu dan belum sepenuhnya yakin maka ia buktikan dan
ternyata benar, maka hal tersebut menjadi pengetahuan baginya.
Faktor-faktor tersebut adalah pemicu
timbulnya pengetahuan bagi seseorang. Secara tidak langsung kita baru menyadari
bahwasannya kejadian-kejadian tersebut sangat dekat dengan aktifitas kita sehari-hari.
Selain itu, pengetahuan masih terbagi dalam tiga jenis yaitu, pengetahuan umum
(common sense), pengetahuan empiris (empirical sense)
dan pengetahuan ilmiah (science = dibaca sains). Ketiga jenis pengetahuan ini memiliki
tingkatan yang berbeda-beda, ketika berbicara tentang common sense maka contohnya
adalah pengetahuan yang lumrah dan tidak perlu dibuktikan kebenarannya seperti
ketika lapar maka harus makan, makan nasi dapat membuat kenyang, ketika ngantuk
maka harus tidur, ketika jomblo maka harus mencari pasangan dan sebagainya, ini
adalah pengetahuan yang umum atau disebut juga pengetahuan yang biasa. Kemudian
tentang empirical sense, pengetahuan ini berdasarkan pengalaman
indrawi atau pengalaman seseorang yang pernah dialaminya secara langsung
sehingga menstimulus untuk timbulnya pengetahuan, misalnya ketika seseorang
tinggal di Aceh yang pernah mengalami kejadian tsunami secara langsung
disandingkan dengan orang Arab yang tidak pernah mengalami kejadian serupa,
tentu pengetahuan orang Aceh sangat lebih tahu tentang tsunami dibanding orang
Arab tersebut, ini yang dikatakan sebagai pengetahuan empiris.
Jenis pengetahuan yang terakhir adalah ilmu pengetahuan (science).
Jenis pengetahuan ini berada pada klasifikasi diatas common sense dan empirical
sense karena keakuratan pengetahuan ini bisa dibuktikan secara fakta dan
logika. Ilmu dikatakan ilmiah karena mencakup dua hal tersebut, yaitu fakta dan
masuk akal. Lalu apakah masuk akal jika seseorang mengatakan 1+1=8? Jika bisa
dibuktikan secara ilmiah dan logis, maka sah-sah saja jika hitungan tersebut
benar, namun kebanyakan (mungkin semua) orang
telah menyepakati bahwa 1+1=2 bukan delapan.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan, apa bedanya pengetahuan dan ilmu
pengetahuan? Hemat penulis bahwasanya pengetahuan adalah sesuatu yang didasari
atas dasar tahu, tidak memiliki sebab, tidak memiliki objek yang mendalam dan tidak
bermetode, sedangkan ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang mementingkan sebab,
menyelidiki objek secara mendalam, dan memiliki metode yang jelas sehingga
keakuratan sebuah ilmu pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan. Singkatnya
pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah sama-sama menggali kebenaran, bedanya
ada pada cara menggali kebenaran itu sendiri, apakah bermetode atau tidak.
Menyoal pengetahuan tidak akan berhenti sampai pembahasan istilah dan
pembagian jenis. Ilmu pengetahuan sendiri memiliki ruang lingkup yang sangat
luas, jika dilihat dari objek ilmu pengetahuan itu sendiri, ilmu pengetahuan
terbagi menjadi dua aspek yaitu alam dan manusia, sedangkan dalam pembagian
ilmu pengetahuan secara umum dapat diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
ilmu itu sendiri. Secara garis besar, ilmu pengetahuan merupakan cabang-cabang
dari filsafat. Mengapa? Karena filsafat merupakan induk dari ilmu pengetahuan.
Prof. Drs. Harsojo mengemukakan bahwasannya ilmu pengetahuan memiliki
cirri-ciri umum, seperti: ilmu itu bersifat rasional, ilmu itu bersifat
empiris, ilmu itu bersifat umum dan ilmu itu bersifat akumulatif (kepentingan
bersama). Berdasarkan cirri-ciri tersebut dapat dikemukakan bahwasannya
pemahaman-pemahaman yang digunakan oleh para filosof seperti pemahaman bersifat
rasional, empiris, kesepakatan bersama, bersumber pada kebenaran merupakan
bentuk dari kajian filsafat yang berdampak pada perkembangan ilmu pengetahuan
hingga saat ini.
Dapat disimpulkan bahwasannya pengetahuan dan ilmu pengetahuan adalah
proses berfikir yang disengaja oleh seseorang dalam menjawab kegelisahan yang
bersumber dari rasa heran dan rasa skeptis baik menggunakan metode ataupun
bersumber dari nalar. Islam pun menganjurkan setiap manusia untuk mengkaji
lebih dalam tentang kebesaran Allah swt di seluruh alam semesta ini. Seseorang
yang belajar (berilmu) tentu derajatnya lebih tinggi dari orang yang hanya
sekedar beribadah. Ketika seseorang ingin mencari kehidupan didunia maka ia
harus berilmu, dan ketika seseorang mencari kehidupan di akhirat maka ia pun
harus berilmu.
Wallahualam.